ABOUT ISO 9241-210 - Human-Centered Design
# Useful Article
You've got to start from the customer experience and work backwards to the technology. You can't start from the technology and try to figure out where you're going to try to sell it
~ Steve Jobs
#1.
The Design is Based Upon Explicit Understanding of Users, Task, and Environments.
Untuk mendesain produk, kita harus mengerti user, tugas-tugas mereka, dan lingkungan mereka. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari target audience yang tepat terlebih dahulu. Per jelas tentang ciri-ciri mereka, seperti apa personas mereka, bagaimana kebiasaan mereka, bagaimana cara mereka menggunakan produk kita, kapan mereka menggunakan produk kita, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Jika kita belum jelas target audience yang akan kita tuju, tetapi kita tetap ingin mulai produksi, maka pondasi produknya akan hancur ketika ternyata miss target audience nya. Go out and observe your target audience. Amati bagaimana mereka berinteraksi kesehariannya. Tentang cara mereka akan menggunakan produk kita.
#2.
User Involvement Should Be Active Involvement.
Ketika kita berhadapan dengan user dan melakukan usability testing, jangan hanya menunjukkan produk kita dan kemudian kita tanya "bagaimana pendapat mu tentang aplikasi kita?" atau "apakah kamu mau menggunakan aplikasi kita?"
Yang di sebut dengan active involvement adalah membuat audience untuk bermain dengan produk kita atau prototype nya, kemudian melakukan tugas yang kita berikan, dan kita mengamati bagaimana dia melakukannya. Sehingga kita mendapaktan feedback yang real berdasarkan sudut pandang user yang mungkin selama ini kita tidak melihatnya.
Mungkin kita pernah mendengar Focus Group Research, dimana ada beberapa audience yang kita kumpulkan dan duduk bersama, kemudian kita tanyakan tentang produk kita, dan masing-masing dari mereka menyampikan pendapatnya. Mungkin cara ini berguna untuk sebagian ilmu / research, tetapi cara ini cenderung tidak efektif dibandingkan metode usability testing. Karena focus group berbicara tentang opini, pendapat, dan asumsi, sedangkan user experience berbicara tentang perilaku, kebiasaan, yang terkadang kebiasaan itu tidak di sadari oleh user. Dan lagi kelemahan focus group adalah ketika audience sedang berdiskusi, opini mereka terkadang berubah dipengaruhi oleh pendapat yang disampaikan audience lain. Oleh karena itu usability testing lebih unggul daripada focus group dalam hal ini
#3.
The Design is Driven and Refined by User-Center Evaluation.
Tidak masalah usability testing dilakukan remote atau dalam ruangan, selama bisa di lakukan dan kita mendapatkan feedback dari user untuk produk kita, kita kembali lagi ke design thinking. Iterasi lagi dan terus itersi lagi. Semakin cepat kita mendapatkan problem besar dalam design kita, semakin cepat kita perbaiki, maka semakin cepat pula produk kita dapat diterima oleh user. Ini adalah inti dari User-Center Design.
Extent to which a product can be used by specified users to achieve specified goals with effectiveness, effeciency, and satisfaction in a specified content of use.
Quote di atas merupakan tujuan dari kita melakukan usability testing. Effectiveness, bagaimana kita mengukur efektifitas dari design yang kita buat? Cara yang paling mudah adalah dengan memberikan nilai 1, 2, 3 untuk tiap task yang di lakukan user. Misal nya angka 1 ketika mereka bisa melakukan task dengan sangat baik. Angka 2 ketika mereka agak susah melakukan task, dan angka 3 jika mereka sama sekali tidak bs melakukannya.
Effeciency adalah seberapa lama user melakukan task yang kita berikan. Kita harus punya standar waktu yang menjadi acuan lama user melakukan satu task. Jadi ketika user menyelesaikan task dalam waktu standar kita, kita beri nilai A. Nilai B untuk waktu yang lebih lama, dan nilai C ketika user tidak dapat menyelesaikan task yang diberikan.
Dari sini kita bisa bertanya kembali ke mereka, tentang task-task yang tidak mereka diselesaikan dengan baik. Kita mendapatkan feedback sebagai bahan iterasi selanjutnya.
Satisfaction adalah tingkat kepuasan audience terhadap produk kita. Ini adalah hal yang paling sulit untuk di ukur. Banyak metode untuk melakukannya, diantaranya adalah metode quisioner, yaitu dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan umum tentang produk kita. Saya lebih memilih metode Call-to-Action, yaitu kita menyuruh audience kita melakukan suatu tindakan untuk mengukur mereka puas atau tidak. Sebagai contoh, saya akan bertanya kepada audience untuk menuliskan email mereka, Jika produk ini selesai di buat, mereka akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Yang mengisi email adalah orang yang puas terhadap produk kita, dan yang tidak mengisi email adalah orang yang kurang puas terhadap produk kita atau bahkan memang bukan user kita.
#4.
The Process Is Iterative.
The most appropriate design cannot be achieved without iteration. Sangat kecil kemungkinan untuk tidak ada iterasi. Metode Agile/Scrum sangat cocok untuk iterasi yang cepat di bandingkan dengan metode waterfall.
A lot of companies will do six or seven prototypes of a products because each one takes time and money. Apple will do a hundred — that's how many they did of the Macbook.
~ Leander Kahney. Reporter
Terkadang kita sangat percaya pada prototype pertama yang kita buat, dan berkata "ini pasti sukses!" atau "ini pasti berhasil" dan sebagainya, sedangkan perusahaan top dunia membuat ratusan prototype sebelum mereka yakin.
Ini adalah Jakob Nielsen's usability graph. Dari Grafik itu bisa di lihat bahwa dengan melakukan usability test ke 5 user, kita dapat menemukan 85% problem yang sama pada design kita. Kemudian kita iterasi, perbaiki problem terebut, dan kita tes lagi terhadap 5 user, kita mendapatkan problem yang lain lagi, dan kita perbaiki lagi, dan melakukannya lagi terus dan terus.
#5.
The Design Addresses The Whole User Experience.
Berikut ini adalah Peter's Morville User Experience Honeycomb. Untuk mengetahui bahwa produk kita berguna bagi users, unsur-unsur di atas ada pada produk kita. Untuk mengetahui ada tidaknya, coba jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
Useful
Is it useful? Is it the right solution? Will it help our users achieve their goals? And, given the state of technology, should we revisit our goals?
Desirable
Is it satisfying to use? Does it make people want to use? Does it embody the values and identity of your brand?
Accessible
Will it work for all users? Can people search from a wide variety of platforms and browsers? Can users access it offline or online?
Credible
Does the design inspire trust? Will users believe that the product are the best or most popular or most relevant?
Findable
Where users can find your product? Can they find their way around your site? Can they find your content despite your site? Is your product aligned with search engine optimization?
Usable
Is it easy to use with maximum efficiency and minimum error? Are there afforable for novice and expert user? Are there gentle slopes to support learning?
Valuable
What the value of your product? Does it build the bottom line or advance the mission? Is the user experience aligned with strategy? Can your product confer competitive advantage?
#6.
The Design Team Includes Multidisciplinary Skills and Perspective.
Desain di zaman sekarang bukanlah sesuatu yang hanya bisa di lakukan oleh tim desain, tetapi semua stakeholder terlibat di dalamnya. Tentunya dengan membuat tim design tetap kecil akan sangat baik. Misalnya selain tim design, di dalam tim juga ada developer, yang akan memberikan sudut pandang dari segi teknis dan batasan-batasan nya. Ada juga user tester dimana dia akan memberikan masukan dari sudut pandang pengguna. Ada juga customer services, mereka ini yang mendengar langsung keluhan-keluhan pengguna, sehingga masukan dari mereka akan sangat berguna untuk mendesain produk yang tepat.
Itulah 6 prinsip utama yang diambil dari ISO 9241 - 210 tentang Human-Center Design. Dan ingat bahwa pada akhirnya, user yang akan memutuskan bahwa produk kita tepat buat mereka atau tidak.
Thank You.